Selasa, 15 Desember 2015

Perut Kenyang di “Perusahaan Balon”

Meski sudah banyak mendengar tentang fasilitas “non-teknis” untuk karyawan Google di Silicon Valley, namun tak urung saya takjub juga ketika melihat sendiri di “TKP”-nya.


Ini gedung kantor apa food court? Gerai makanan bertebaran di kantor pusat Google di Amerika, ini. Katanya ada sekitar 30 restoran dan kafe di kompleks tersebut yang siap memasok kebutuhan “kampung tengah” alias perut semua karyawannya. Saking banyaknya, saya sendiri hanya sempat melihat beberapa, tak sempat secara khusus berkeliling untuk menghitung.

Yang sempat tertangkap dalam ingatan saya adalah resto-resto China, India, Italia, Jepang, Meksiko. Ragam resto ini sangat unik karena menggali khasanah kuliner dari berbagai negara. Menurut informasi, Googlers (karyawan Google) memang terdiri dari bermacam ragam etnis dan ras. Ras Asia adalah jumlah kedua terbanyak setelah ras kulit putih, dengan jumlah mencapai 35%. Itulah mengapa resto India, China, dan Jepang adalah gerai-gerai yang populer di sana.

Mungkin sebentar lagi bisa jadi ada restoran Padang di sana. Siapa tahu? Toh saat ini Googlers yang berasal dari Indonesia cukup banyak jumlahnya, ada sekitar 70 orang. Apalagi rendang Padang sudah dinobatkan sebagai salah satu makanan terenak di dunia?

Lebih hebat lagi, restoran dan kafe-kafe itu beroperasi sejak sarapan sampai makan malam. Kalaupun ada perusahaan lain di dunia ini yang menyediakan makan bagi karyawan, paling banter hanya untuk makan siang kan? Lha, ini bisa non-stop service begitu.

Apa tidak tekor? Secara intuisi memang akan menghabiskan biaya operasional yang cukup besar. FYI, resto dan café yang disediakan bukan asal ada, lho. Mereka merekrut chef yang berpengalaman dan mendesain gerai yang tak kalah mewah dengan restoran fine dining di kota sekalipun. Itu belum ditambah dengan mini kitchen dan lemari-lemari pendingin yang dipenuhi dengan jajanan dan minuman yang koleksinya tak kalah dengan supermarket atau kafe.

Menurut “bisikan” mereka, memang  “cost opex”-nya tidak kecil. Namun produktivitas yang dihasilkan dari efisiensi (terutama waktu) karyawan yang makan di kantor jauh lebih tinggi daripada cost-nya itu.

Hmmm, iya juga sih. Dengan tawaran menarik untuk makan pagi sampai makan malam di kantor, karyawan juga jadi betah berada di kantor sampai melebihi jam kerja yang ditentukan secara sukarela. Apalagi ditunjang dengan berbagai fasilitas hiburan lainnya yang tersedia. Bisa bisa para Googler lebih betah di kantor dan pada nggak pulang-pulang.

Bisa jadi mereka memang lupa pulang pada weekdays saking nyamannya bekerja dan memanfaatkan fasilitas hiburan. Untuk itulah sepertinya sengaja pada Jumat malam tidak disediakan dinner alias makan malam. Mungkin tujuannya agar Googlers “get a life” di akhir pekan dan kembali segar nanti ketika bekerja kembali di hari Senin.

Apakah ini merupakan resep sukses Google? Memang tak ada yang bisa mengiyakan secara mantap. Dan sebetulnya resep memberikan kenyamanan kepada karyawan lewat perut tidak hanya dipratekkan oleh Google tapi perusahaan internet giants lainnya seperti Facebook yang juga sukses menguasa dunia lewat socmednya.

Ketika Google sudah mencicipi kesuksesan mereka tak melupakan untuk terus berpikir out of the box. Contohnya adalah pada saat merancang kantornya di seluruh dunia dengan fasilitas antara lain “ransum” 24 jam bagi karyawannya itu tadi

Cara berpikir yang luwes tapi berdaya dobrak juga saya temukan pada inovasi Project Loon atau Balon Google yang kerjasamanya kami tandatangani hari itu.

Pada prinsipnya, Balon Google ini adalah sebuah “BTS terbang” yang terhubung ke BTS “darat” milik para operator. Bagaimana mungkin mereka sampai pada gagasan “warbiyasa” itu? Mungkin memang harus balik lagi ke soal “kampung tengah” dengan 30 resto tadi nih: urusan perut kelar, pikiran segar.

Soal eksekusi sampai detil juga mereka pikirkan secara out of the box. Tau nggak? Umur balon yang diterbangkan itu masing-masing hanya 150 hari. Paling lama 180 hari. Lantas gimana nasib sang balon setelah masa pakai itu? Kata mereka: simpel, kita turunkan dan ganti baru balonnya.

Jadi ternyata mereka sudah siap dengan ribuan balon yang akan berganti setiap beberapa bulan sekali, bukan hanya balon yang ada lima dan rupa-rupa warnanya, seperti dalam lagu anak-anak.

Masih belum selesai takjub saya, mereka menambahkan info lagi bahwa biaya pembuatan balon-balon itu juga tak mahal-mahal amat. Kok bisa? Ya, karena mereka menggunakan plastik biasa yang sama dengan yang digunakan untuk membuat plastik sampah. Kita di Jawa sering menyebutnya “tas kresek”. Kebayang nggak BTS diangkut dengan tas kresek? :)

Dalam program balon ini kentara sekali bahwa design principle mereka adalah men-design dalam situasi saat ini. Tidak harus menunggu semua perfect, tetapi bisa mulai dengan “beta version” dan baru kemudian sedikit demi sedikit diperbaiki atau dimodifikasi “on the fly”. Memang kedengarannya ini seperti pendekatan orang “software” yang diterapkan pada dunia “hardware” ya?

Sementara kita yang bergelut dengan dunia telko umumnya mengedepankan robustness terlebih dulu. Konsekuensinya ya memang kadang, dalam beberapa hal, jadi terlalu lambat bergerak, menunggu semua robust.

Sebagai CEO perusahaan telko, tentu ini memberi inspirasi bagi saya untuk memadukan pendekatan fixing on the fly vs first time right dalam merancang produk atau layanan.

Inspirasi lainnya tentu saja tentang faktor happines karyawan yang mendorong produktivitas sekaligus menekan angka turn over karyawan menjadi sangat rendah.

Ah, sepertinya saya harus ke dapur dulu untuk mem-provide happines “kampung tengah” saya agar bisa lebih banyak menyerap inspirasi-inspirasi lain dari kunjungan sehari di Google Campus itu.

Tulisan ini dari Dian Siswarini.

1 komentar: