Kamis, 29 Oktober 2015

Tujuh sektor perekonomian paling merugi karena asap

Sedikitnya tujuh sektor perekonomian mengalami penurunan omzet penjualan rata-rata 24,95 persen akibat kabut asap di Sumatera dan Kalimantan. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Riau mengatakan penurunan terbesar terjadi pada usaha yang bergerak di sektor transportasi, perdagangan, akomodasi makanan dan minuman.


Deputi BI Cabang Riau Irwan Mulawarman, seperti yang dilansir Tempo, mengatakan dampak kerugian juga disebabkan karena peningkatan biaya operasional usaha rata-rata 25 persen, seperti biaya transportasi, tenaga kerja dan biaya bahan bakar lantaran krisis listrik.

Jasa penerbangan mengalami penurunan omzet mencapai 50 persen atau lebih dari Rp200 miliar akibat penurunan penjualan tiket pesawat serta Rp1,5 miliar untuk operasional bandara. "Berlanjutnya kabut asap hingga bulan Oktober diperkirakan menurunkan omzet lebih dari 60 persen," kata Iwan.

Penurunan juga dialami jasa pengiriman barang hingga mencapai 60 persen. Hal itu disebabkan meningkatnya biaya sebesar 60 persen karena pengalihan rute pengiriman melalui Padang, ditambah lagi keluhan penalti atas keterlambatan pengiriman barang.

Sektor perdagangan penyedia akomodasi dan makanan mengalami penurunan omzet hingga 30 persen. Penurunan itu disebabkan berkurangnya kunjungan wisatawan ke Riau. Penurunan juga disebabkan tidak adanya penerbangan ke Pekanbaru akibat asap.

Sedangkan di sektor pendidikan dan jasa kesehatan, kerugian ditaksir mencapai Rp20 miliar. Dinas Kesehatan telah membagikan masker sebanyak 600ribu dengan anggaran mencapai Rp2,8 miliar. Kerugian juga dialami sektor perkebunan kelapa sawit, jasa konstruksi dan perbankan serta kinerja kredit mikro beberapa bank diperkirakan mulai terdampak asap.

Di sisi lain, dikutip dari BBC Indonesia, secara keseluruhan dampak ekonomi akibat kebakaran hutan diperkirakan mencapai lebih dari Rp200 triliun.

Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo menjelaskan hitungan itu didasarkan pada angka kerugian pada tahun 1997 ditambah dengan kerugian yang dialami Malaysia dan Singapura.

"Musim kemarau lebih panjang dan asap lebih luar biasa daripada tahun 1997-1998 kalau saya tambah USD9 miliar plus kerugian yang ada di Singapura dan Malaysia masing -masing USD2 miliar, jadi USD13 miliar, ditambah faktor seperti angka inflasi, jadi bisa bervariasi antara USD14 miliar hingga USD20 miliar, tergantung angka inflasi yang kita terapkan," jelas Herry.

Dalam meminimalisir kerugian ekonomi yang diakibatkan asap, BI pun mengeluarkan rekomendasi penanggulangan bencana asap berbasis manajemen resiko. Pertama, perlunya peninjauan kembali UU No 32 tahun 2009 pasal 68 ayat 2 tentang perlindungan lingkungan hidup yang mengizinkan pembakaran lahan seluas 2 hektare.

Kedua, percepatan Instrument Landing System (ILS) di Bandara Sultan Syarif Kasim II, sehingga teknologi yang digunakan dapat membantu pesawat untuk mendarat dengan aman meski ada gangguan asap.

Ketiga, merekomendasikan kepada perbankan untuk meninjau kembali denda terhadap keterlambatan pengiriman tagihan (billing statement).

Tulisan ini dari Beritagar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar